Cerpen Kiriman Ambiwwa Novita | Lolos Moderasi Pada: 15 January, 2014
Dalam malam selalu ada kelam, mungkin itulah setiap malamku selalu penuh ketakutan. Namaku Riri, setiap hariku adalah malam. Ini bukan karena drama, ini nyata. Selama tujuh belas tahun aku hidup dalam kegelapan, Selama itu pun yang aku tahu hanya keramaian dunia bukan keindahan dunia, dunia bagiku hanya ada gelap yang dibumbui gelak tawa, teriakan, tangisan dan suara jangkrik kala senja, bagaimana rupanya jangkrik? Bisakah kalian gambarkan? Ya, aku buta dan aku kesepian.
Aku hidup bersama mereka yang mengaku orangtua, aku menyanyangi
mereka meskipun aku belum pernah melihat bagaimana rupa mereka, namun
aku selalu mendengar tangisan di rumah ini, Ibuku setiap malam selalu
saja menangis, namun aku yakin wanita itu bukan menangisiku, dia
menangis bersamaan dengan teriakan Ayah, entah bagaimana kejadiaannya.
Sampai pada suatu hari aku menemui malam, dimana Ibu berteriak keras
sekali, aku ambil biolaku dengan langkah sedikit demi sedikit
meraba-raba dinding kamar, ku ambil biolaku setelah sedikit kelelahan
meraba-raba semua barang di dinding kamar, aku bantingkan biolaku keluar
pintu…
*Pranggg
Terdengar bunyi kaca pecah, sepertinya biolaku mengenai kaca lemari. Dengan langkah yang tergopoh-gopoh aku meraba-raba dinding kemudian menutup pintu, kemudian aku berteriak begitu kerasnya, aku mengunci pintu kamar dan mematung di atas ranjang.
“Riri… Riri” terdengar Ayah mengetuk pintuku, dengan nada khawatir.
“Diam!” Jawabku sambil berteriak sekaligus menangis
“Riri, Buka pintunya nak!” Ibupun sama-sama mengetuk pintuku dengan nada khawatir bahkan menangis.
“Diam!” Jawabku sambil berteriak sekaligus menangis
“Riri, Buka pintunya nak!” Ibupun sama-sama mengetuk pintuku dengan nada khawatir bahkan menangis.
“Ayah, cepatlah bunuh dia Ayah! Aku tak sudi setiap malam mendengar
teriak kesakitannya yang selalu membuat aku mimpi buruk! Bunuh saja
Ayah, Bunuh!”
Aku tak mendengar kembali mereka mengetuk pintuku, sepertinya
langkahnya menjauh dariku, ada rasa bersalah dariku, ada rasa takut
dariku. Apakah Ayah benar-benar membunuh Ibu? Aku kesal, kenapa setiap
malam Ayah selalu membuat Ibu menjerit kesakitan, kasian Ibu harus mati
perlahan. Namun, kekhawatiranku segera terpatahkan, Ibu mengetuk pintuku
kembali, Ibu memohon-mohon untuk aku membuka pintu.
Dengan jalan perlahan dan pipi yang basah aku membuka pintu dan
kemudian bersimpuh, aku memohon beribu ampun karena sudah menyumpahinya
untuk segera mati. Aku sungguh tak bermaksud seperti itu, Ibu sepertinya
mengerti, dengan terisak-isak Ibu mengangkatku, dan memelukku.
“Ibu selalu mengerti akan semua bahasamu, Ibu selalu mengerti. Jangan takut berdosa, surgaku sudah kupinta kepada Tuhan untuk kamu tempati, Riri”
“Ibu selalu mengerti akan semua bahasamu, Ibu selalu mengerti. Jangan takut berdosa, surgaku sudah kupinta kepada Tuhan untuk kamu tempati, Riri”
Aku hanya terdiam, kemudian kami menangis bersama-sama. Ibu
menjelaskan segala tingkah kekasaran ayah kepada Ibu, ayah begini karena
akhir-akhir ini ayah sering mabuk, Ayah ternyata punya masalah besar
yang selama ini aku tak pernah tahu. Sebenarnya kaki ayahku mengalami
cacat karena kecelakaan beberapa bulan yang lalu, tapi Ayah dan Ibu tak
pernah menceritakan semuanya kepadaku, Ayah adalah seorang pekerja
kantor asuransi, setiap keluar rumah ayah selalu mendapat olokan, bahwa
Ayah tak perlu malu dengan kaki yang hanya sebelah kanan, mereka selalu
mengolok-olok ayah dengan sangkaan Ayah memotong kakinya sendiri untuk
mendapatkan asuransi. Ibu bercerita dari a sampai z, itulah alasan
kenapa Ibu selalu pasrah dengan semua kekasaran yang Ayah lakukan, Ibu
begitu kasihan terhadap nasib Ayah saat ini.
Ibu segera menyuruhku untuk tidur, ibu menyelimutiku dan mengecup
keningku. Tak lama setelah itu, pintuku terbuka, aku mendengar derap
langkah, aku belum tidur terlalu lelap. Tangannya mulai mengusap
rambutku, tangannya kasar, sepertinya ini bukan Ibu. Dia membereskan
selimutku, kemudian dia pergi dan menutup pintu. Itu pasti Ayah, aku
menangis semalaman, aku hidup tak tahu diri. Dengan egoisnya, aku
membenci
Ayah, tanpa tahu keadaan Ayah yang sebenarnya. Andai, mataku
mampu melihat. Mungkin nasib keluargaku tak akan sesusah ini. Besok
pagi, aku harus segera meminta maaf kepada Ayah, aku harus memintanya
untuk mengantarku jalan-jalan keliling taman, segera kuhapus air mataku
dan kemudian tertidur.
Pagi sudah tiba sepertinya, adzan shubuh berkumandang, segera aku
keluar kamar untuk mengambil air wudhu, pintu kamar terbuka, rasanya
panas sekali, kudengar ini seperti bukan di rumah, rumahku tak pernah
sesesak dan seramai ini.
Lama-lama aku mencium wewangian yang menusuk hidungku, kemudian
begitu banyak orang-orang yang membelai rambutku, dan semuanya
menyuruhku bersabar. Apa arti dari semua ini?.
Ibu menggenggam tanganku, dan menuntunku menuju kamar mandi, Ibu
menyuruhku untuk segera mengambil air wudhu dan kemudian menyuruhku
segera shalat shubuh. Tangan ibu dingin sekali, aku masih mengira-ngira
apa yang akan terjadi.
Setelah selesai shalat shubuh, Ibu kemudian memelukku dan menuntuku
menuju entah kemana, sepertinya ruang tamu. Aku duduk di antara banyak
orang, mereka mulai melantunkan ayat suci..
“Yaa Siin”
Aku meraba apa yang di hadapanku, tubuhnya kaku, tangan kasarnya
seperti tangan yang semalam membelaiku sebelum tertidur. Ayah? Tak
mungkin, ini tak mungkin, baru saja semalam, baru saja semalam, baru
saja semalam. Ayah…
Aku menangis dan mulai mengira-ngira, Ayah sudah meninggal, Ibu terus
memelukku. Baru saja aku ingin meminta maaf, tapi Ayah sudah buatku
kesal, kenapa dia meninggalkanku secepat ini, dia tak hargai niat
baikku. Semasa hidup dan matinya dia selalu buatku kesal, dia selalu
membuatku bersedih, namun aku tak mau dia pergi meninggalkan aku, dan
aku semakin tersesat dalam kegelapan. Oh.. Tuhan!
Dua hari setelah kepergian Ayah, hidupku semakin sedih tak lama
setelah itu terdengar kabar Ibu meninggalkanku juga, kenapa semuanya
menyusahkanku. Andai, aku bisa melihat mungkin aku mampu melihat
semuanya, mungkin aku tak akan sesusah ini. Aku hidup sendiri dengan
gelap yang terlalu. Aku sudah merelakan hidupku untuk tak rasakan
bahagianya bermain dan tertawa lepas seperti anak-anak lain, karena tak
ada yang mau menemaniku, aku sudah merelakan hidup dalam kegelapan, aku
sudah rela akan semua derita, tapi kenapa Tuhan kembali buatku susah?.
Di dalam kesepian hariku, pintu rumahku diketuk oleh seseorang.
Entahlah dari siapa, aku membuka pintu dan kemudian terdengar suara yang
begitu indah.
“Riri?”
“Siapa kamu?”
“Saya Dokter Azriel, dokter yang sempat merawat Ibumu sebelum beliau meninggal”
“Riri?”
“Siapa kamu?”
“Saya Dokter Azriel, dokter yang sempat merawat Ibumu sebelum beliau meninggal”
Dengan sigapnya, aku kembali menutup pintu, ternyata dia biang keladi
kematian Ibuku, namun lelaki itu mempunyai tenaga yang lebih kuat
daripada aku, pintunya terbuka kembali setelah kucoba untuk menutupnya.
“Kau pembunuh!”
“Riri, tunggu! Saya bukan pembunuh, izinkan saya masuk dan berbicara tentang apa yang ingin saya ungkapkan”.
“Silahkan, jangan salahkan aku jika kau pulang sama seperti Ibuku yang sudah tak bernyawa”
“Baiklah, Riri. Terserah apa katamu”
“Kau pembunuh!”
“Riri, tunggu! Saya bukan pembunuh, izinkan saya masuk dan berbicara tentang apa yang ingin saya ungkapkan”.
“Silahkan, jangan salahkan aku jika kau pulang sama seperti Ibuku yang sudah tak bernyawa”
“Baiklah, Riri. Terserah apa katamu”
Lelaki itu menceritakan apa yang terjadi kepada Ibuku, detik-detik
sebelum kepergian Ibuku, Ibuku berpesan supaya mendonorkan matanya
untukku, Ibuku meminta supaya jangan dulu menguburkan jenazahnya sebelum
mataku diganti matanya.
Proses pendonoran berlangsung dengan lancar, tak sabar aku ingin
melihat Ibu untuk terakhir kalinya dan menyaksikan langsung pemakaman
Ibu. Atas nama Tuhan Yang Maha Agung, Mata Ibu kini menjadi Mataku, aku
menangis, selama hidup Ibu menuntunku untuk hadapi gelapnya dunia,
ketika Ibu pergi, Ibu berikan matanya untukku hadapi dunia. Aku melihat
tak percaya betapa Ibu dan Ayahku begitu cantik dan tampan. Aku
bercermin, dan tersenyum sekaligus menangis. Aku melihat, aku kini harus
belajar hadapi dunia, Ibu tak rela aku sendiri dalam gelap, kedua
matanya menemaniku. Ada binatang entah apa namanya, indah sekali hinggap
di kain bercorak. Inikah jangkrik? Tapi tidak bersuara seperti jangkrik
di kala senja, atau mungkin ini bisa jadi jangkrik betina, cantik,
bersayap lebar dan tak bersuara. Dan kain bercorak ini?
Pasti ini adalah
kain batik buatan Ibu. Jangkrik dan Batik adalah hal pertama yang aku
perhatikan dengan mata Ibu yang kini menjadi mataku.
“Teruntuk, Riri anakku.. Aku berikan dua mataku untuk hadapi hidupmu
yang dimulai dengan kesendirian, aku tak ingin ada kegelapan”
0 komentar:
Posting Komentar